Pages

Om Avighnam astu namo sidham Om Sidhirastu tad astu astu svaha. Ya Hyang Widhi, semoga atas perkenan-Mu tiada suatu halangan bagi kami memulai pekerjaan (kegiatan) ini dan semoga sukses.

Berlatih Untuk Menjaga Sifat Dewata Dalam Diri

Diambil dari buku "Suara Hati Seorang Pedanda" Karya Ida Pedanda Gede Made Gunung
tanah_lot.jpg          Manusia memiliki sifat yang sangat kuat dalam dirinya yaitu; kebiasaan. Semestinya sifat seperti itu sangat perlu dipertahankan dan dikembangkan kearah yang positif. Artinya kebiasaan itu dapat menciptakan kebahagiaan diatas bumi ini, dengan cara mengikuti petunjuk Ida Sang Hyang Widhi yang telah tertuang dalam ajaran Agama Hindu. lalu bagaimana mengembangkan kebiasaan yang positif? Sebenarnya kita tidak perlu terlalu jauh berfikir, cukup dengan cara yang sederhana yaitu; sembahyang dan meditasi.
          Semakin sering kita mendekatkan diri kepada Tuhan melalui sembahyang dan meditasi maka kita telah membuka diri kita untuk dialiri dengan sifat - sifat Dewata yang secara otomatis juga akan menjauhkan sifat - sifat Bhutakala dari diri kita. Hal ini pedanda dapatkan dari sebuah rumusan yang sederhana, yaitu ketika pedanda melihat seorang anak kecil yang memainkan dua buah balon gas yang terhubung tali satu sama lain. ketika si anak kecil tersebut menarik balon berwarna putih, maka secara otomatis balon yang berwarna hitam menjadi menjauh, begitu pula sebaliknya. Hal ini pedanda hubungkan dengan sifat yang ada pada diri manusia, yaitu sifat Dewata dan Bhutakala. Bila manusia menarik sifat Dewata maka sifat Bhutakana menjauh, demikian pula jika manusia menarik sifat Bhutakana maka sifat dewata akan semakin menjauh. Dengan bersembahyang secara rutin, itu berarti kita telah menarik sifat Dewata ke dalam diri kita yang akan menjauhkan sifat Bhutakala. Jika diikuti dengan perilaku sehari - hari yang penuh kesabaran, kasih sayang dan pemaaf, maka sifat dewata akan terjaga dan semakin tumbuh subur dalam diri kita.
          Mungkin ada yang bertanya, apa perbedaan antara sembahyang dan meditasi? Secara garis besar pedanda dapat memberikan pemahaman sebagai berikut; jika kita bersembahyang maka kita memusatkan pikiran menuju Sang Hyang Widhi, sedangkan jika kita bermeditasi maka itu artinya kita telah membuka hati kita untuk didatangi Sang Hyang Widhi dan menstanakan beliau di sana. lalu manakan yang lebih baik? Keduanya harus dilakukan dengan secara seimbang, ibarat melihat dua sisi mata uang yang jika hanya dilihat satu sisi nilainya tidak akan bebeda atau menjadi dua kali lipat jika kita melihat kedua sisnya, namun dengan melihat kedua sisi maka kita mengetahui bentuk uang yang seutuhnya. Dengan melakukan keduanya secara seimbang maka kita akan dapat menikmati kebahagiaan didalam hidup sebagai benteng terjaganya sifat Kedewataan dalam diri kita
          Sesungguhnya dalam diri manusia unsur Ketuhanan telah bersemayam yang dalam sloka disebutkan dengan "Aham Brahma Asmi" yang semestinya hal tersebut tercermin dalam perilaku kita sehari - hari. Inilah yang semestinya kita sadari dan ditumbuh kembangkan melalui sembahyang dan meditasi serta ditunjang dengan penerapan sifat kesabaran, cinta kasih dan pemaaf. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah memilih makanan, karena makanan adalah sumber energi yang akan mempengaruhi jiwa. Makan dan minumlan makanan yang sukla atau tidak cemer, yang mulai proses pembuatanya, alat - alat yang digunakan untuk memasak dan juga menghidangkan, dan juga kondisi lingkungan tempat makanan itu dibuat. Agama hindu sangat menekankan akan pentingnya kesucian dan menghindari hal - hal yang cemer atau leteh, karena menjaga sifat Dewata dalam diri harus dilakukan secara sekala dan niskala.Kesetiaan matahari menyinari bumi tidak pernah surut-surut, mudah-mudahan matahari tidak bosan menyaksikan tingkah laku manusia layaknya penuh kegelapan, walaupun saban hari diberikan sinar agar mereka dapat melihat dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah. Namun manusia tak kuasa menahan derasnya seretan arus dan gelombang neraka. Kapankah mereka akan sadar akan hal itu?
Awan gelap menyelimuti pikiran, menutup mata bathin, hatipun tak dapat menyuarakan kesucian. Ibu Pertiwi sangat sabar menopang dan menyangga mahluk aneh yang bertubuh manusia berperilaku binatang. Mereka bergerak, makan, minum, buang air diatas bumi dan tak pernah mau membayangkan kesabaran Ibu Pertiwi. Naga Basuki, Naga Taksaka dan Bedawang Anala kelihatanya amat marah, karena sangat tidak sudi punggungnya diinjak-injak oleh manusia cemer (kotor). Suatu saat beliau akan marah dan menyemburkan bisanya. Benawang Anala saat marah dapat menggemparkan bumi melalui gempa dan letusan gunung berapi. Naga Basuki saat murka meyemburkan air sehingga terjadi banjir, tanah longsor, erosi dan abrasi. Naga Taksaka saat jengkel akan menghembuskan udara tercemar, membuat sulit untuk bernafas, memunculkan gelombang tsunami. Andaikata semua itu terjadi, apa yang bisa kita lakukan. Sekarang gejala-gejala mengarah kesana tampaknya semakin jelas. Sepertinya gemuruh debu akan melenyapkan kesucian.
Semoga masih ada secercah sinar yang bisa digunakan sebagai pedoman menggapai jendela kebahagiaan, guna meloloskan diri dari cengkeraman kuku jaman kali. Diperasaan Pedanda tergambar bahwa para Dewata telah meninggalkan alam ini untuk kembali ke sorga. Karena para Dewa sangat tidak senang tempat berstana beliau dirongrong dan mau dikuasai oleh para Bhutakala. Saat seperti sekarang ini hampir semua Bhutakala mendapatkan tempat, menggantikan stana para Dewa. Tempat yang paling utama yang diperebutkan oleh para Dewa dan Bhutakala adalah hati manusia. Apabila hati manusia dikuasai oleh Bhutakala, maka perilaku manusia itu sendiri akan cenderung mengkuti sifat-sifat Bhutakala. Jadi alam akan dipenuhi oleh para Bhutakala dan jadilah dia alam neraka. Sekarang telah banyak bermunculan perilaku yang aneh-aneh, yang sesungguhnya tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan ajaran agama dan bisa merugikan pihak lain, namun justru perilaku seperti itu yang menjadi kegemaran dijaman sekarang ini.
Dijaman lampau sangat jarang orang senang mabuk-mabukan, karena mabuk itu sangat merugikan diri sendiri dan masyarakat, disamping bertentangan dengan ajaran agama. Sekarang mabuk itu menjadi pilihan utama, sebab kalau tidak ikut mabuk dianggap ketinggalan jaman. Anggapan seperti itu benar adanya, karena mereka yang tidak ikut mabuk memang ketinggalan jaman edan, bukan ketinggalan jaman Dharma. Jika mereka takut ketinggalan jaman edan, itu berarti mereka lebih senang masuk jaman edan yang merupakan jamannya Bhutakala, dan secara pelan-pelan dunia ini akan menjadi neraka. Kalau itu memang kehendak manusia, jaman kali itu akan lebih cepat datangnya. Sebab perubahan jaman itu mutlak disebabkan oleh faktor manusia. Cepat atau lambat datangnya yuga itu tergantung dari pekembangan prilaku manusia.
Selain mabuk yang menjadi kegemaran para Bhutakala dan juga disenangi manusia, ada lagi kegemaran yang lebih berbahaya bagi dirinya sendiri dan masa depan bangsa, yaitu mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Semua itu kegemaran yang memperlancar jalan menuju neraka, dan mempercepat proses penghacuran alam beserta isinya. Sebab sifat dasar Bhutakala adalah menghancurkan ciptaan Sang Hyang Widhi. Apakah kita mau semua keindahan dan kebahagiaan akan lenyap begitu saja?
Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar

Om Pra no devi sarasvati vajebhir vajinivati dhinam avinyavantu. (Rg Veda VI.61.4) Ya Hyang Widhi, Hyang Saraswati Yang Maha Agung dan Kuasa, Engkau sebagai sumber ilmu pengetahuan, semoga Engkau memelihara kecerdasan kami.

Followers